
Table of Contents
Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan dalam KUHP
Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) awalnya menjadi landasan hukum untuk menangani berbagai tindakan yang dianggap mengganggu atau melanggar hak seseorang. Sebelum penghapusan frasa “perbuatan tidak menyenangkan,” pasal ini berbunyi sebagai berikut:
- Pasal 335 KUHP Lama
“Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.”
Rumusan di atas memberikan dasar hukum untuk menangani berbagai macam keluhan terkait tindakan tak menyenangkan. Namun sering kali, frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dianggap terlalu subjektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
- Pasal 448 UU Nomor 1 Tahun 2023
Sebagai bagian dari pembaruan KUHP melalui UU Nomor 1 Tahun 2023, pasal ini mengalami perubahan. Misalnya:
– Hukuman denda dinaikkan menjadi maksimal Rp10 juta.
– Hanya tindakan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau ancaman pencemaran yang dapat dipidana.
Perubahan ini menciptakan struktur hukum yang lebih jelas untuk menghindari penafsiran subjektif.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Pada tahun 2013, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013 menetapkan bahwa frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dari Pasal 335 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan berikut:
1. Subjektivitas Frasa
MK menyatakan frasa tersebut sangat subjektif dan hanya didasarkan pada penilaian korban, penyidik, atau penuntut umum, sehingga membuka peluang terjadi kesewenang-wenangan hukum.
- Ketidakpastian Hukum
Frasa tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak ada parameter objektif yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan “perbuatan tidak menyenangkan.”
- Berpotensi Merugikan
Ketidakjelasan dalam pasal ini dapat menyebabkan pihak terlapor menghadapi stigma sosial, hilangnya kebebasan, atau kerugian moral meskipun laporan terhadap mereka tidak terbukti.
Setelah penghapusan, penekanan pasal tersebut hanya pada pemaksaan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Implikasi Praktis
Penghapusan frasa “perbuatan tidak menyenangkan” memiliki dampak signifikan bagi sistem hukum di Indonesia. Berikut adalah beberapa implikasi praktisnya:
1. Mengurangi Penyalahgunaan Hukum
Sebelum frasa ini dihapus, pasal ini sering digunakan untuk kasus yang sebenarnya kurang relevan, khususnya dalam konflik yang melibatkan opini pribadi atau masyarakat di media sosial. Dengan dihapusnya pasal ini, potensi penyalahgunaan hukum terhadap tindakan yang sifatnya subjektif dapat diminimalisir.
2. Peningkatan Kepastian Hukum
Perubahan pada pasal ini memberikan batasan yang lebih jelas tentang apa yang dianggap sebagai pelanggaran. Ketentuan seperti kekerasan atau ancaman kekerasan menjadi lebih konkret dan dapat diukur secara objektif.
3. Perbedaan antara Delik Biasa dan Delik Aduan
Pasal baru (Pasal 448 UU 1/2023) tetap mempertahankan pembagian antara jenis tindakan yang merupakan “delik biasa” dan “delik aduan”. Sebagai contoh:
– Delik menggunakan kekerasan adalah “delik biasa” dan dapat langsung diproses tanpa pengaduan.
– Delik dengan ancaman pencemaran adalah “delik aduan,” yang menuntut adanya pengaduan dari korban terlebih dahulu.
4. Penyesuaian dalam Praktik Hukum
Para pihak, baik penyidik, advokat, maupun masyarakat, harus memahami bahwa hukum ini tidak lagi dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat subjektif. Konsultasi hukum untuk mencari pasal lain yang relevan menjadi penting dalam menyelesaikan sengketa.
Menyikapi Penghapusan Pasal Ini
Sebagai masyarakat yang hidup dalam sistem hukum yang terus berkembang, penting bagi kita untuk memahami alternatif hukum yang tersedia jika menghadapi situasi serupa. Pasal 448 UU 1/2023 memberikan perlindungan hukum yang relevan, meskipun akan resmi berlaku pada 2026.
Selain itu, individu yang merasa dirugikan dapat mencari perlindungan hukum melalui jalur lain yang lebih spesifik sesuai dengan sifat perbuatan, seperti pasal-pasal terkait pencemaran nama baik, kekerasan, atau perdata.
Kesimpulan
Perubahan hukum seperti ini dapat terasa membingungkan, tetapi seiring dengan perkembangan zaman, hukum harus direvisi agar lebih relevan dan adil bagi semua pihak. Bila Anda merasa perlu penjelasan lebih lanjut, pertimbangkan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum.
Perlu panduan lebih lanjut? Temukan klarifikasi hukum dari berbagai kasus langsung dengan konsultan hukum terpercaya. Jadikan hukum sebagai alat perlindungan, bukan senjata penyalahgunaan. Mulai perjalanan hukum Anda dengan langkah yang benar.
Butuh Jasa Hukum? Hubungi Kami Sekarang!
