Table of Contents
Isteri Tidak Bahagia Apakah Bisa Mengajuka Cerai?
Perceraian bukanlah suatu hal yang diinginkan baik oleh pasangan suami istri. Namun jika setelah semua hal dilakukan dan diusahakan namun tetap tidak ada rasa nyaman dan aman dalam sebuah hubungan rumah tangga, maka salah satunya bisa meminta cerai. Tak hanya dari sisi sang suami, namun juga dari sisi sang istri. Pertanyaannya, bolehkah seorang istri meminta bercerai karena merasa dirinya tak bahagia bersama sang suami?
Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum istri minta cerai karena tidak bahagia, mari kita cari tahu terlebih dulu tentang aturan perkawinan dan alasan yang dibolehkan untuk bercerai dalam kacamata Islam.
Mengenal Aturan tentang Perkawinan
Ada beberapa aturan yang mengatur tentang perkawinan, salah satunya dikenal dengan UUP atau UU 1/1974 serta aturan pelaksana UUP yang termuat dalam PP RI 9/1975. Dalam UUP disebutkan jika perceraian hanya bisa terjadi jika upaya mediasi gagal dan terdapat alasan permohonan perceraian yang sesuai dengan UUP.
Ada enam alasan dalam UUP yang bisa dijadikan sebagai permohonan perceraian, yaitu jika salah satu pihak:
- berzina atau melakukan kebiasaan yang sulit disembuhkan seperti judi dan mabuk
- menghilang atau pergi tanpa alasan dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut
- mendapat hukuman penjara minimal paling sedikit lima tahun
- melakukan tindak pidana
- mengalami kekurangan fisik atau penyakit yang membuatnya tidak bisa menjalankan kewajiban
- saling berselisih paham atau bertengkar terus menerus dengan harapan rukun yang kecil
Alasan Perceraian
Selain dari perspektif hukum nasional, hukum Islam juga mengatur tentang perceraian. Dalam kacamata hukum Islam perceraian hanya bisa dilakukan oleh suami, namun jika dalam rumah tangga terjadi sesuatu hal yang tidak baik, maka sang istri juga boleh meminta perceraian.
Ada beberapa alasan yang bisa membuat sang istri mengajukan perceraian yaitu:
1. Tidak Mendapat Nafkah dari Suami
Jika sang suami tidak memberikan nafkah dan sang istri tidak merelakannya maka hal ini bisa jadi alasan untuk bercerai. Berbeda jika sang istri mengerti dengan kondisi sang suami maka perceraian tidak diperlukan.
2. Tidak Mampu Menahan Syahwat
Jika sang istri tidak mampu menahan syahwat dan sang suami tak mampu memenuhinya, maka daripada berzina lebih baik sang istri mengajukan permohonan perceraian.
3. Tidak Mampu Memenuhi Kewajiban kepada Suami karena Benci
Jika sang suami tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami dan sang istri membencinya karena hal tersebut, daripada terjadi pertengkaran yang terus menerus lebih baik bercerai.
4. Suami Berakhlak Buruk
Ketika suami memiliki akhlak yang buruk seperti mabuk, berjudi, tidak berpuasa, meninggalkan shalat atau apapun itu yang tidak sesuai dengan ajaran agama, sang istri boleh meminta cerai.
5. Suami Berlaku Kasar
Jika sang suami berlaku kasar terhadap istri seperti main tangan, memukul, menyuruh kerja berat dan sebagainya, maka istri dibolehkan meminta cerai.
6. Suami Murtad
Suami yang murtad mampu menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga yang bisa menyebabkan batalnya perkawinan dalam Islam. Jika hal ini terjadi sang istri boleh minta cerai.
Bisakah Istri Minta Cerai Karena Tidak Bahagia?
Sebelum membahas jawaban pertanyaan di atas, kita uraikan terlebih dulu kesimpulan dari pembahasan di atas dalam dua perspektif dibawah ini:
Dalam Perspektif Hukum Nasional
Hukum istri minta cerai karena tidak bahagia dalam perspektif nasional tidak masuk sebagai alasan perceraian yang sah dalam Undang-Undang Perkawinan ataupun Peraturan Pemerintah tentang Perkawinan. Namun alasan ini bisa dikaitkan dengan alasan yang sudah ada seperti terjadinya perselisihan, pertengkaran yang terus menerus sehingga tidak ada lagi kerukunan dalam rumah tangga.
Dalam Perspektif Hukum Islam
Alasan tidak bahagia juga tidak bisa dijadikan alasan utama untuk bercerai dalam perspektif Islam. Namun jika dalam perjalanannya tidak ditemukan kerukunan dalam berumah tangga, maka salah satu pihak bisa mengajukan perceraian. Apalagi jika sang istri yang tidak bahagia khawatir jika dirinya tak bisa lagi memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri. Maka meminta untuk cerai dibolehkan.
Kesimpulan
Jadi, seorang istri pada dasarnya boleh mengajukan perceraian namun dengan alasan yang sesuai syariat dan logis. Oleh sebab itu bisa disimpulkan jika hukum istri minta cerai karena tidak bahagia tentu saja dibolehkan.
Rasa kurang nyaman atau perasaan tidak bahagia yang terjadi dalam rumah tangga tidak boleh dipendam sendirian karena berdampak buruk kedepannya. Perasaan tersebut bisa membuat sang istri melewatkan tanggung jawabnya terhadap kewajiban dan perannya sebagai istri. Namun sebelum itu ada beberapa hal yang harus dipastikan terlebih dulu.
- Sudah dilakukan mediasi namun tidak ada titik temu
- Telah memikirkan dampak akibat perceraian
- Jika ada anak, pastikan sang anak mengetahuinya sebagai antisipasi hal buruk di lain hari
Sebagaimana disebut di atas, permohonan perceraian pasti akan berdampak. Kurangnya persiapan akan dampak yang terjadi dikhawatirkan menimbulkan permasalahan lainnya. Jika masih ada keraguan, sang istri bisa meminta bantuan dari psikologi atau bisa meminta masukan dari konselor pernikahan.
Psikolog akan membantu sang istri untuk mengidentifikasi tanda apakah pernikahan yang dilanjutkan akan berdampak buruk pada pikiran dan mental sang istri. Sedangkan konselor pernikahan akan mencari tahu apakah ada hal yang bisa diperbaiki dalam rumah tangga.
Namun jika memang pada akhirnya sebuah rumah tangga tidak bisa dipertahankan, maka memang perceraian adalah solusinya.
Bagi Anda yang saat ini sedang ingin mengajukan permohonan perceraian, pastikan untuk didampingi dengan pengacara atau kuasa hukum yang berpengalaman seperti BURS Advocates. Sebagai kuasa hukum terbaik di Jakarta, BURS Advocates akan mendampingi Anda untuk menyelesaikan segala masalah Anda khususnya dalam pengajuan perceraian.
Butuh Butuh Jasa Pengacara Perceraian
Butuh Layanan dengan Tim Kami, Chat langsung!
Portofolio Kami
Share Yuk !
Seorang Lulusan Universitas Hukum di jakarta yang gemar akan menulis perkembangan hukum di Indonesia