
Table of Contents
“Poligami dalam UU Perkawinan diatur dengan ketat, mengharuskan alasan mendasar seperti istri tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat, atau tidak memiliki keturunan. Prosedur hukum mencakup izin pengadilan dan persetujuan istri. Dampaknya termasuk konsekuensi sosial, hukum, dan emosional yang signifikan bagi semua pihak terlibat.”
Poligami adalah topik yang sering memicu perdebatan di tengah masyarakat Indonesia. Isu ini tidak hanya menyentuh aspek sosial dan agama, tetapi juga memiliki landasan hukum yang jelas dan prosedur yang harus ditaati. Bagi sebagian orang, poligami mungkin terlihat sebagai praktik yang mudah dilakukan, namun kenyataannya, negara telah mengatur pelaksanaannya dengan sangat ketat.
Memahami aturan hukum seputar poligami menjadi krusial, baik bagi suami yang berencana melakukannya, istri yang akan dimadu, maupun calon istri kedua. Artikel ini akan menguraikan secara rinci dasar hukum, syarat yang harus dipenuhi, serta prosedur resmi untuk melakukan poligami di Indonesia agar sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Apa Itu Poligami Menurut Hukum Indonesia?
Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly (banyak) dan gamos (perkawinan). Secara sederhana, poligami adalah sistem perkawinan di mana seorang suami memiliki lebih dari satu istri pada saat yang bersamaan.
Di Indonesia, praktik perkawinan pada dasarnya menganut asas monogami. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan:
“Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
Meskipun demikian, undang-undang memberikan pengecualian. Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, dengan syarat ia harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau Pengadilan Negeri (bagi non-Muslim).
Dasar Hukum yang Mengatur Poligami
Regulasi mengenai poligami di Indonesia tidak hanya bersumber dari satu peraturan, melainkan gabungan dari beberapa landasan hukum, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan): Sebagai hukum induk yang mengatur perkawinan di Indonesia, UU ini menjadi dasar utama. Pasal 3, 4, dan 5 secara spesifik mengatur tentang asas monogami dan pengecualiannya.
- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan: Peraturan ini memberikan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan UU Perkawinan, termasuk prosedur pengajuan izin poligami di pengadilan.
- Kompilasi Hukum Islam (KHI): Bagi masyarakat Muslim, KHI yang diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 menjadi rujukan utama. Pasal 55 hingga 59 KHI mengatur secara lebih detail mengenai syarat dan tata cara poligami dalam konteks hukum Islam di Indonesia.
Syarat-Syarat untuk Mengajukan Izin Poligami
Pengadilan tidak akan memberikan izin poligami secara sembarangan. Ada sejumlah syarat kumulatif (harus terpenuhi semua) yang wajib dipenuhi oleh seorang suami. Syarat ini terbagi menjadi dua kategori: syarat alternatif dan syarat utama.
Syarat Alternatif (Alasan yang Diperbolehkan)
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan, pengadilan hanya dapat memberikan izin jika suami memenuhi salah satu dari tiga alasan berikut:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
- Istri tidak dapat memberikan keturunan.
Penting untuk dicatat bahwa alasan ini harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter atau bukti lain yang sah di pengadilan.
Syarat Utama (Persetujuan dan Kemampuan)
Selain memenuhi salah satu alasan di atas, suami juga wajib memenuhi syarat utama sesuai Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:
- Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri: Persetujuan ini harus diberikan secara tertulis dan tidak boleh ada paksaan. Persetujuan ini bersifat mutlak dan menjadi pertimbangan utama bagi hakim.
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka: Kemampuan ini harus dibuktikan dengan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh instansi tempatnya bekerja atau surat keterangan pajak.
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka: Jaminan keadilan ini dituangkan dalam bentuk surat pernyataan tertulis dari suami yang diajukan di pengadilan.
Data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung menunjukkan bahwa permohonan izin poligami seringkali ditolak oleh hakim karena pemohon gagal membuktikan kemampuannya untuk berlaku adil dan menafkahi seluruh keluarganya secara layak.
Prosedur Resmi Pengajuan Izin Poligami
Jika semua syarat telah terpenuhi, suami dapat memulai proses pengajuan izin poligami ke pengadilan. Berikut adalah langkah-langkah prosedurnya:
1. Mengajukan Permohonan ke Pengadilan
Suami mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggalnya. Permohonan tersebut harus melampirkan dokumen-dokumen berikut:
- Surat permohonan izin poligami.
- Fotokopi KTP pemohon, istri, dan calon istri kedua.
- Fotokopi buku nikah.
- Surat pernyataan persetujuan dari istri yang ditandatangani di atas meterai.
- Surat pernyataan berlaku adil dari suami.
- Surat keterangan penghasilan atau bukti kemampuan ekonomi lainnya.
- Surat keterangan dokter jika alasan poligami terkait kondisi kesehatan istri.
2. Pemeriksaan di Persidangan
Pengadilan akan memeriksa permohonan tersebut. Proses ini meliputi:
- Memanggil para pihak: Pengadilan akan memanggil suami (pemohon), istri, dan terkadang calon istri kedua untuk didengar keterangannya.
- Verifikasi persetujuan: Hakim akan memastikan bahwa persetujuan yang diberikan oleh istri benar-benar tulus dan tanpa paksaan.
- Pembuktian syarat: Pemohon harus membuktikan semua syarat yang diajukan, termasuk kemampuan finansial dan komitmen untuk berlaku adil.
3. Penetapan atau Putusan Hakim
Setelah melalui proses persidangan, hakim akan memberikan putusan.
- Jika permohonan dikabulkan, pengadilan akan mengeluarkan penetapan izin poligami. Penetapan inilah yang menjadi dasar bagi Kantor Urusan Agama (KUA) untuk mencatat perkawinan kedua.
- Jika permohonan ditolak, suami tidak diizinkan untuk menikah lagi. Jika ia tetap nekat menikah tanpa izin pengadilan, maka perkawinan tersebut dianggap sebagai nikah siri dan tidak diakui oleh negara. Akibatnya, istri kedua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, terutama terkait hak waris dan status anak.
Kesimpulan
Poligami di Indonesia bukanlah sekadar keinginan pribadi, melainkan sebuah tindakan hukum yang diatur secara ketat oleh negara. Tujuannya adalah untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak serta memastikan bahwa suami benar-benar bertanggung jawab atas keputusannya.
Memenuhi syarat-syarat yang berat dan mengikuti prosedur yang panjang adalah cara negara memastikan bahwa asas keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan keluarga tetap terjaga. Oleh karena itu, jika Anda mempertimbangkan poligami atau dihadapkan pada situasi ini, memahami setiap detail hukumnya adalah langkah pertama yang paling bijaksana.
Jika Anda membutuhkan panduan lebih lanjut mengenai masalah hukum perkawinan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahli hukum yang berpengalaman.
