Lompat ke konten

Asas Non-Retroaktif: Definisi, Dasar Hukum, dan Fungsinya

Asas Non-Retroaktif

Asas Non-Retroaktif dalam Hukum Pidana: Menjaga Keadilan dan Kepastian Hukum

Bayangkan jika suatu hari kamu dihukum karena melakukan sesuatu yang saat itu sebenarnya tidak melanggar hukum. Misalnya, kamu membagikan informasi tertentu di media sosial pada tahun 2018, lalu di tahun 2023 keluar undang-undang baru yang menyatakan perbuatan seperti itu adalah tindak pidana. Tentu tidak adil kalau kamu harus dihukum atas dasar aturan yang bahkan belum ada saat kamu melakukannya, bukan?

Nah, inilah yang menjadi inti dari asas non-retroaktif dalam hukum pidana Indonesia. Prinsip ini memastikan bahwa seseorang tidak bisa dihukum atas perbuatan yang saat dilakukan belum dianggap sebagai kejahatan. Dengan kata lain, hukum tidak bisa berlaku surut.

Apa Itu Asas Non-Retroaktif?

Secara sederhana, asas non-retroaktif berarti hukum hanya berlaku untuk ke depan, bukan ke belakang. Dalam istilah hukumnya dikenal sebagai lex temporis delicti, yang menegaskan bahwa sebuah perbuatan hanya bisa dihukum jika pada saat dilakukan sudah ada aturan yang melarangnya.

Jadi, kalau suatu tindakan baru ditetapkan sebagai pelanggaran setelahnya, maka orang yang sudah melakukannya sebelumnya tidak bisa dijerat hukum. Prinsip ini tidak hanya soal aturan, tapi juga tentang keadilan dan logika: orang tidak bisa diminta bertanggung jawab atas sesuatu yang belum dilarang ketika ia melakukannya.

Dasar Hukumnya di Indonesia

Asas non-retroaktif tercantum jelas dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:

“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”

Baca Juga  Syarat Pendirian PMA di Indonesia yang Perlu Anda Ketahui

Kalimat sederhana ini menyimpan makna besar. Negara ingin memastikan bahwa hukum pidana tidak digunakan secara sewenang-wenang. Warga negara dijamin haknya agar tidak tiba-tiba dijerat oleh aturan yang baru muncul setelah perbuatannya terjadi.

Mengapa Asas Ini Penting?

Prinsip non-retroaktif bukan sekadar aturan kaku dalam buku hukum. Ia punya peran besar dalam menjaga rasa aman masyarakat. Beberapa fungsi pentingnya antara lain:

  1. Melindungi hak seseorang.
    Orang tidak bisa dihukum atas dasar aturan yang belum ada. Ini melindungi warga dari potensi ketidakadilan.
  2. Memberikan kepastian hukum.
    Masyarakat tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tanpa khawatir ada aturan baru yang tiba-tiba menjebak mereka.
  3. Mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
    Tanpa prinsip ini, bisa saja hukum digunakan untuk menekan atau menghukum seseorang secara tidak adil.
  4. Menjadi dasar pembelaan hukum.
    Bagi seorang advokat, asas ini adalah tameng penting dalam membela klien yang didakwa dengan aturan baru yang belum berlaku saat perbuatan terjadi.

Contoh Nyata dalam Kehidupan

Agar lebih mudah dipahami, bayangkan situasi ini.

Seorang karyawan bernama Budi pada tahun 2019 membagikan data pelanggan perusahaan ke pihak ketiga untuk keperluan riset. Saat itu, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), jadi perbuatannya tidak diatur sebagai tindak pidana.

Lalu, pada tahun 2022, pemerintah mengesahkan UU PDP yang menyatakan bahwa membocorkan data pribadi adalah kejahatan. Kalau kemudian jaksa menuntut Budi dengan undang-undang baru itu, maka langkah tersebut melanggar asas non-retroaktif.

Mengapa? Karena aturan tersebut belum berlaku ketika Budi melakukan perbuatannya. Dalam kasus seperti ini, advokat bisa membela Budi dengan menggunakan Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai dasar pembelaan.

Peran Advokat dalam Menegakkan Asas Ini

Bagi seorang advokat, asas non-retroaktif adalah salah satu “alat pelindung” paling penting dalam membela hak klien. Jika dalam surat dakwaan jaksa terdapat pasal dari undang-undang yang baru berlaku setelah kejadian, advokat bisa mengajukan eksepsi atau keberatan di pengadilan.

Baca Juga  Apa Itu Pakta Integritas? Contoh dan Manfaatnya

Dengan begitu, asas ini tidak hanya menjadi teori di atas kertas, tapi benar-benar dijalankan untuk memastikan setiap orang mendapat perlakuan hukum yang adil.

Adakah Pengecualian?

Menariknya, meskipun asas non-retroaktif merupakan prinsip utama, ada pengecualian dalam kasus tertentu. Pengecualian ini biasanya diterapkan untuk kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti genosida atau kejahatan perang.

Mengapa bisa begitu? Karena dalam konteks ini, hukum internasional menganggap tindakan-tindakan tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, sehingga pelakunya tetap bisa diadili meskipun saat kejadian belum ada aturan tertulis yang melarang secara spesifik.

Contohnya bisa dilihat dalam pengadilan internasional terhadap pelaku kejahatan perang atau pembantaian massal. Prinsip kemanusiaan di sini mengalahkan asas formal non-retroaktif demi keadilan global.

Penutup

Asas non-retroaktif adalah fondasi penting dalam hukum pidana Indonesia. Ia bukan hanya soal aturan, tapi tentang menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan hak warga negara. Tanpa prinsip ini, hukum bisa berubah menjadi alat penindasan, bukan pelindung keadilan.

Dengan memahami asas ini, kita bisa melihat bahwa hukum bukan hanya kumpulan pasal, melainkan juga cerminan nilai kemanusiaan.
Bagi para praktisi hukum, terutama advokat, pengetahuan tentang asas ini adalah bentuk tanggung jawab untuk memastikan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan, bukan sekadar diteorikan.

Penulis