
Asas Non-Retroaktif: Memahami Definisi, Dasar Hukum, dan Fungsinya dalam Sistem Hukum Indonesia
Dalam hukum pidana maupun perdata, asas non-retroaktif sangat penting agar hukum jelas dan teratur. Prinsip ini sering jadi bahan diskusi terutama saat ada aturan baru yang bisa berpengaruh pada kejadian di masa lalu. Memahami asas ini bukan hanya untuk belajar, tapi juga wajib bagi siapa pun supaya tahu hukum berjalan adil.
Artikel ini akan membahas dengan bahasa sederhana tentang apa itu asas non-retroaktif, dasar hukumnya, dan kegunaannya dalam hukum Indonesia. Dengan memahami topik ini, kita jadi tahu bagaimana aturan ini bisa melindungi hak asasi manusia.
Definisi Asas Non-Retroaktif
Secara bahasa, non-retroaktif berasal dari bahasa Latin. “Non” artinya tidak, “retroactive” artinya berlaku surut. Jadi, asas non-retroaktif adalah aturan hukum yang melarang peraturan baru berlaku untuk kejadian yang sudah terjadi sebelum aturan itu dibuat.
Di hukum pidana, prinsip ini erat dengan asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali). Artinya, seseorang tidak bisa dihukum atas tindakan yang belum diatur dalam hukum saat itu. Hukum harus mengatur ke depan, bukan ke belakang.
Kenapa asas ini penting? Seseorang tidak bisa mematuhi aturan yang belum ada. Menghukum seseorang pakai aturan baru untuk perbuatan lama adalah hal yang tidak adil dan merusak kepastian hukum.
Dasar Hukum Asas Non-Retroaktif di Indonesia
Asas non-retroaktif di Indonesia diatur jelas dalam konstitusi dan aturan hukum lainnya. Berikut dasar-dasarnya:
1. UUD 1945
Dasar utama asas ini ada di UUD 1945. Pasal 28I ayat (1) menyatakan dengan tegas bahwa:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Ini artinya, hak untuk tidak dihukum dengan aturan yang berlaku surut adalah hak mutlak dan tidak bisa dikurangi kapan pun, bahkan saat darurat.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Di hukum pidana, asas ini ada di Pasal 1 ayat (1) KUHP:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
Artinya, seseorang hanya bisa dihukum bila sudah ada aturan pidana yang berlaku saat dia melakukan perbuatannya.
3. Undang-Undang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memperkuat aturan ini. Pasal 4 UU HAM menyatakan bahwa hak untuk tidak dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak yang tidak bisa dikurangi. Negara menjamin perlindungan dari hukum yang dibuat secara semena-mena.
Fungsi Utama Asas Non-Retroaktif
Asas non-retroaktif punya beberapa kegunaan penting dalam sistem hukum:
1. Menjamin Kepastian Hukum
Fungsi utamanya adalah supaya hukum jelas dan tidak berubah-ubah. Orang harus tahu mana yang boleh, mana yang tidak menurut peraturan saat itu. Kalau hukum boleh berlaku mundur, siapa pun bisa jadi tidak aman. Yang hari ini boleh, besok dilarang dan bisa dihukum padahal dulu belum dilarang. Ini jelas bikin masyarakat jadi bingung.
2. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Asas ini juga untuk melindungi orang dari penyalahgunaan kekuasaan. Jika aturan bisa berlaku mundur, penguasa bisa membuat hukum baru lalu menghukum orang atas kejadian lama. Prinsip ini mencegah pemerintah semena-mena.
3. Mendorong Perilaku Taat Hukum
Hukum seharusnya jadi panduan bersikap. Kalau orang tahu hukum hanya berlaku ke depan, mereka akan berusaha taat hukum. Tapi kalau hukum bisa berubah ke belakang, orang tidak akan yakin dan bisa takut atau tidak peduli hukum.
Pengecualian Terhadap Asas Non-Retroaktif
Walau asas non-retroaktif sangat penting, ada beberapa pengecualian dalam situasi tertentu.
Asas Lex Favor Reo (Pasal 1 ayat 2 KUHP)
Pengecualian paling sering adalah asas lex favor reo. Ini diatur di Pasal 1 ayat (2) KUHP:
“Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya.”
Artinya, kalau ada perubahan hukum setelah perbuatan terjadi tapi sebelum ada keputusan tetap, terdakwa diberi aturan yang lebih ringan atau menguntungkan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat
Di beberapa kasus luar biasa, seperti kejahatan HAM berat (genosida atau kejahatan kemanusiaan), asas non-retroaktif kadang dikesampingkan. Contohnya saat Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur dan Tanjung Priok dibentuk. Dasar hukumnya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, yang membolehkan pengadilan memeriksa kasus lama.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 menyatakan bahwa untuk kejahatan luar biasa yang diakui dunia internasional, asas non-retroaktif bisa dikesampingkan demi keadilan. Jadi, pelaku kejahatan kemanusiaan tetap bisa dihukum walau saat itu aturannya belum ada.
Tindak Pidana Terorisme
Penerapan hukum mundur juga pernah terjadi waktu Bom Bali I. Pemerintah mengeluarkan Perppu lalu jadi UU untuk mengadili pelakunya. Tapi Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 013/PUU-I/2003 membatalkan pemberlakuan surut UU Terorisme untuk kasus Bom Bali I karena ini melanggar UUD 1945. Ini jadi pelajaran bahwa pengecualian asas non-retroaktif harus benar-benar hati-hati.
Hubungan dalam Hukum Perdata dan Administrasi Negara
Meskipun asas non-retroaktif sering dibahas di hukum pidana, prinsip ini juga penting di hukum perdata dan administrasi negara.
Di hukum perdata, asas ini jaga supaya perjanjian dan hak milik yang dibuat sesuai hukum lama tetap sah. Aturan baru tidak boleh membatalkan janji yang dibuat berdasar hukum lama, kecuali ada alasan penting. Ini penting untuk kepercayaan dan stabilitas ekonomi.
Di hukum administrasi negara, asas ini melindungi warga dari keputusan pejabat yang berlaku mundur dan merugikan. Misalnya, pencabutan izin tidak boleh berlaku surut. Namun untuk keputusan yang menguntungkan, seperti kenaikan gaji, kadang boleh berlaku surut.
Implikasi bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Bagi pembuat undang-undang, asas ini sangat penting. Setiap aturan baru harus jelas kapan mulai berlaku dan bagaimana aturan lama diterapkan. Rancangan aturan harus punya ketentuan peralihan supaya tidak menimbulkan masalah.
Jika aturan baru tidak memperhatikan asas ini, bisa diuji kembali ke Mahkamah Konstitusi atau MA. Kalau melanggar asas non-retroaktif, peraturan bisa dibatalkan.
Kesimpulan
Asas non-retroaktif adalah salah satu pondasi utama negara hukum. Prinsip ini menjamin semua orang tahu dan paham aturan, serta melindungi hak dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Walau di konstitusi ia tidak boleh dikecualikan, praktik hukumnya kadang bisa menyesuaikan, misalnya pada kejahatan berat atau demi keadilan untuk terdakwa.
Dengan memahami asas ini, kita tahu bahwa hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan, bukan sekadar aturan tertulis. Hukum harus adil, pasti, dan dijalankan dengan tepat. Penting bagi siapa pun, baik praktisi, akademisi, atau masyarakat umum, untuk memahami kapan hukum mulai berlaku agar tahu apa hak dan kewajiban mereka.
Referensi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003. (https://mkri.id)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (https://peraturan.bpk.go.id/Details/44563/uu-no-1-tahun-1946)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (https://peraturan.bpk.go.id/Details/45357/uu-no-39-tahun-1999)
