Lompat ke konten
Beranda » News » Harta Gono Gini

Harta Gono Gini

pembagian harta waris

Perceraian tidak hanya mengakhiri ikatan pernikahan, tetapi juga menimbulkan urusan lain yang harus diselesaikan, salah satunya adalah pembagian harta bersama. Isu ini sering kali menjadi masalah yang rumit dan berpotensi memicu konflik berkepanjangan.

Artikel ini, yang disusun berdasarkan analisis hukum oleh para ahli di Justika, akan menguraikan secara lengkap mengenai konsep harta bersama, aturan pembagiannya menurut hukum negara dan agama, serta cara mengurusnya untuk menghindari perselisihan.

Apa Itu Harta Gono-Gini Menurut Hukum?

Istilah “gono-gini” dalam percakapan sehari-hari merujuk pada harta yang diperoleh suami dan istri selama masa perkawinan. Dalam kerangka hukum formal, ini disebut sebagai harta bersama.

Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, setiap harta benda yang didapatkan selama pernikahan menjadi harta bersama. Jadi, kedua istilah tersebut pada dasarnya memiliki makna yang sama.

Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa jika perkawinan putus, pembagiannya diatur menurut hukum masing-masing. Hukum yang dimaksud dapat berupa hukum agama, hukum adat, atau hukum perdata lainnya yang berlaku.

Aturan Pembagian Harta dalam Perspektif Islam

Dalam hukum Islam, konsep harta suami dan istri pada dasarnya terpisah. Harta yang diperoleh masing-masing sebelum menikah, atau yang diterima sebagai warisan dan hibah, tetap menjadi milik pribadi.

Namun, jika selama pernikahan ada aset yang dihasilkan dari usaha bersama, harta tersebut dianggap sebagai syirkah (usaha bersama) dan dibagi berdasarkan kontribusi masing-masing. Di Indonesia, Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa aset yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama dan dibagi sama rata saat terjadi perceraian, kecuali ada perjanjian pranikah yang mengatur sebaliknya.

Skenario Khusus dalam Pembagian Harta Bersama

Proses pembagian aset bersama dapat menjadi lebih kompleks dalam situasi tertentu. Berikut adalah beberapa skenario umum yang sering terjadi.

Apakah Anak Berhak Mendapat Bagian?

Pada dasarnya, pembagian harta bersama hanya untuk suami dan istri. Namun, anak bisa memperoleh bagian jika orang tua telah membuat perjanjian pranikah (prenuptial agreement) yang secara spesifik mengatur hak anak atas aset tersebut. Besaran bagian untuk anak akan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian itu.

Bagaimana Jika Istri yang Menggugat Cerai?

Seorang istri yang mengajukan gugatan cerai tetap memiliki hak penuh atas pembagian harta bersama. Tindakan menggugat tidak menghilangkan haknya, selama tidak ada perjanjian pemisahan harta sebelumnya. Besaran pembagiannya akan ditentukan melalui musyawarah atau keputusan hakim.

Hak Istri yang Tidak Bekerja

Bagaimana jika istri adalah seorang ibu rumah tangga dan tidak memiliki penghasilan sendiri? Dalam situasi ini, istri tetap berhak mendapatkan bagian dari harta bersama.

Hukum memandang bahwa meskipun hanya suami yang bekerja, harta yang diperoleh selama masa pernikahan tetap dianggap sebagai hasil usaha bersama. Oleh karena itu, kontribusi istri dalam mengurus rumah tangga diakui memiliki nilai yang setara. Umumnya, pembagian dilakukan secara adil, yaitu dibagi dua, kecuali diatur lain dalam perjanjian pranikah.

Bagaimana Jika Ada Utang atau Kredit yang Belum Lunas?

Aset yang masih dalam proses kredit sering menjadi sumber sengketa. Untuk menghindari saling lempar tanggung jawab, Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dijadikan acuan.

Pasal tersebut menyatakan bahwa utang yang dibuat untuk kepentingan keluarga menjadi beban bersama. Pertanggungjawaban utang tersebut akan dibebankan pada harta bersama. Jika tidak mencukupi, akan dibebankan pada harta suami, dan jika masih kurang, akan dibebankan pada harta istri.

Setelah lunas, aset tersebut dapat dijual dan hasilnya dibagi secara adil. Namun, jika hanya satu pihak yang melunasi sisa kredit, maka aset tersebut menjadi hak milik penuh pihak yang melunasi.

Cara Mengurus Pembagian Harta Bersama

Untuk memastikan proses pembagian berjalan adil, ada beberapa cara yang dapat ditempuh.

  1. Jalur Kekeluargaan (Musyawarah)
    Cara terbaik adalah melalui kesepakatan bersama. Kedua belah pihak dapat menghitung seluruh aset, menjualnya, lalu membagi hasilnya secara adil sesuai kesepakatan.
  2. Melalui Jalur Pengadilan
    Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, gugatan pembagian harta bersama dapat diajukan ke pengadilan. Ini adalah langkah terakhir yang bisa ditempuh. Anda perlu menyiapkan dokumen-dokumen berikut:
    • Akta perkawinan dan akta cerai.
    • Salinan putusan pengadilan tentang perceraian.
    • Bukti kepemilikan harta (sertifikat, BPKB).
    • Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).
    • Bukti utang-piutang selama perkawinan.

Cara Menghindari Konflik Pembagian Harta

Konflik terkait pembagian aset sebenarnya dapat dihindari sejak awal. Solusi paling efektif adalah dengan membuat perjanjian pranikah.

Dalam perjanjian ini, pasangan dapat mengatur secara rinci mengenai pemisahan harta yang diperoleh selama pernikahan, pengelolaan harta bawaan, hingga tanggung jawab atas utang masing-masing. Dengan adanya perjanjian yang jelas, potensi sengketa di kemudian hari dapat diminimalkan secara signifikan.

Penulis