Inilah Ambang Batas Sengketa Pilkada
Sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan salah satu permasalahan yang sudah umum terjadi pada suatu negara. Sengketa ini dapat terjadi akibat adanya dugaan kecurangan, pelanggaran hingga ketidakpuasan atas hasil akhir pemilu. Di sini, Mahkamah membuka pengajuan permohonan dengan menerapkan ambang batas sengketa Pilkada. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PHP.BUP-XV/2017.
Sengketa yang terjadi di dalam pemilu seperti pemilihan kepala daerah hingga pemilihan calon presiden dan wakil presiden tentu saja bisa menimbulkan dampak negatif untuk negara. Misalnya menimbulkan ketegangan politik, mengganggu stabilitas pemerintahan, merusak citra demokrasi hingga memicu konflik sosial di masyarakat.
Tentang Ambang Batas Sengketa Pilkada
Sesuai ketentuan Pasal 158 Undang Undang Pilkada, Pemohon berkesempatan meyakinkan Mahkamah atas permohonan yang diajukan tidak dapat memenuhi ambang batas, namun dapat berlanjut sampai pada tahap pemeriksaan pokok perkara sampai putusan dijatuhkan.
Memutuskan permohonan dari pihak pemohon atas sengketa hasil pemilihan kepala daerah, MK berpegang teguh dengan dua hal. Pertama, permohonan diajukan dari pihak pasangan calon daerah dan kedua telah memenuhi syarat formil ambang batas seperti yang telah diatur di dalam Pasal 158 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati serta Walikota.
Pasangan calon kepala daera bisa mengajukan permohonan pembatasan atas putusan hasil penghitungan suara dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten dan kota. Dalam hal ini, ketentuannya adalah jika telah memenuhi syarat selisih suara sebanyak 2% hingga 0,5% yang disesuaikan jumlah penduduk di suatu provinsi, kabupaten dan kota yang bersangkutan.
Di dalam Pasal 158 UU Pilkada tersebut, permohonan yang dilayangkan pemohon atas perselisihan atau sengketa hasil Pilkada yang tidak bisa memenuhi syarat ambang batas, MK memiliki hak untuk menolak permohonan tersebut. Dalam hal ini adalah permohonan secara dismissal (proses pendaftaran perkara).
Dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi mengubah sikap atas pemberlakuan ketentuan ambang batas syarat formil permohonan sengketa hasil suara Pilkada ini. Bahkan perubahan sikap ini telah beberapa kali dilakukan untuk memutuskan sengketa hasil akhir pemilihan kepala daerah.
Ada beberapa hal juga yang menjadi dasar perubahan sikap Mahkamah Konstitusi ini. Misalnya, jika pihak pemohon mampu meyakinkan Mahkamah terkait sejumlah alasan permohonan secara lebih spesifik dan sesuai fakta. Contohnya adanya kelalaian atau kesalahan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif.
Apabila hal ini bisa dibuktikan berikut dalil-dalilnya dari pemohon, maka besar kemungkinan permohonan yang tidak memenuhi ambang batas ini bisa berlanjut hingga ke tahap pemeriksaan pokok perkara sampai nanti diputuskan. Secara otomatis, ini juga sudah memenuhi syarat formil kedudukan hukum atas permohonannya.
Kasus seperti ini juga pernah terjadi ketika Pilkada serentak dilaksanakan pada tahun 2020. Terdapat kasus dimana MK juga mengabaikan syarat formil ambang batas saat melihat substansi pokok dari isi permohonan yang dinilai spesifik. Disini Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut dan mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) kepala daerah yang bahkan telah ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU.
Alasan yang membuat Mahkamah bertindak demikian adalah karena pihak terkait ditetapkan sebagai pasangan calon yang terindikasi berkewarganegaraan ganda. Hal tersebut nyatanya dapat dibuktikan melalui pemeriksaan dengan hasil, bahwa pasangan calon tersebut memiliki KTP Indonesia, namun juga memegang paspor asing.
Kejadian ini membuat Mahkamah selalu memberi peringatan, bagi siapa saja yang ingin mengajukan permohonan terkait sengketa Pilkada, hendaknya tidak lagi terikat dengan Pasal 158 UU Pilkada. Sebab aturan tentang syarat formil permohonan dalam pasal tersebut dinilai terlalu mempersulit.
Permohonan bisa dilakukan selama pihak pemohon dapat memberikan keyakinan pada Mahkamah tentang kesalahan dan pelanggaran yang serius dalam Pilkada. Apabila disertai dengan bukti yang nyata, maka permohonan dapat dilanjutkan ke tingkat pemeriksaan sampai putusan.
Putusan MK adalah Putusan yang Mengikat
Perlu juga diingat, putusan yang keluar dari MK ini bersifat final dan mengikat (final and binding). Artinya, putusan MK ini langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak dikeluarkan serta tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk melawannya.
Tidak hanya menyoal Pemilu saja, putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini juga untuk putusan beberapa hal sebagai berikut.
- Memutus sengketa atas kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar 1945.
- Menguji UU atas UUD 1945.
- Kewenangan memutus membubarkan partai politik (parpol)
- Menyelesaikan sengketa terkait hasil pemilihan umum, seperti pilpres, Pilkada dan sebagainya.
Langkah Mencegah Sengketa Pemilu
Mengingat dampak yang ditimbulkan dari sengketa Pilkada ini bisa cukup membahayakan bagi tata negara, maka sebaiknya dilakukan beberapa langkah pencegahan supaya sengketa ini tidak terjadi, seperti.
- Memperkuat lembaga pengawasan pemilu.
- Meningkatkan transparansi di dalam proses pemilu.
- Meningkatkan partisipasi publik.
- Memperkuat aturan hukum.
- Memberi sanksi tegas kepada pihak yang mencoba melanggar aturan dalam pemilu.
Dari beberapa upaya ini, diharapkan perselisihan atau sengketa Pemilu bisa dihindari atau paling tidak diminimalisir. Dengan begitu, proses demokrasi yang jujur dan adil (jurdil) di negara Indonesia bisa berjalan dengan maksimal. Tentu saja kunci utama agar hal ini bisa terwujud adalah peran masyarakat yang aktif serta transparansi proses pemilu itu sendiri.
MK menjadi lembaga terhormat yang sudah seharusnya menjaga marwah, sehingga bisa mencerminkan demokrasi di Negara Indonesia. Ambang batas sengketa Pilkada ini juga seharusnya diikuti sesuai prosedur dan hukum yang berlaku. Mulai dari proses pemeriksaan sampai putusan.
Mengingat perkara hukum adalah sesuatu yang cukup sulit dilakukan, maka sebaiknya menggunakan bantuan hukum yang profesional seperti Jasa BURS Advocates. Tidak hanya memberikan bantuan hukum pidana saja, namun BURS Advocates juga akan membantu dalam menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan sengketa Pilkada.