Penyelesaian Selisih Suara Dalam Pemilu atau Pilkada
Sengketa perhitungan pilkada sangat umum terjadi. Adanya Pasal 158 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (berkaitan UU Pilkada), nyatanya justru menjadi batu sandungan untuk para pemohon sengketa hasil akhir suara pilkada.
Dalam pasal tersebut mengatur tentang calon kepala daerah bisa mengajukan permohonan pembatalan hasil keputusan suara oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi, kabupaten dan kota. Ketentuannya, apabila permohonan tersebut telah memenuhi syarat berupa selisih 2% hingga 0,5 %, tergantung jumlah penduduk di dalam provinsi, kabupaten dan kota terkait.
Aturan atau dasar yang mengatur selisih hitung suara Pilkada
Menurut KPU, sejatinya proses penghitungan surat suara yang dilakukan oleh KPPS bertujuan menentukan suara sah yang didapatkan oleh pasangan calon. Surat suara disini mencakup surat suara yang telah dinyatakan sah, surat suara yang tidak sah atau tidak digunakan dan surat suara yang rusak atau keliru yang dicoblos.
Beberapa aturan hukum yang dijadikan landasan untuk mengatur selisih hitung suara dalam Pilkada adalah sebagai berikut.
- Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015
Pasal 158 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur bupati dan walikota ini juga belum mengatur dari segi teknis terkait formula untuk penghitungan selisih jumlah suara dalam UU Pilkada. Pasalnya, ada pemohon yang mengajukan permohonan sengketa pilkada yang dipandang keliru dalam menafsirkan atau mengartikan formula penghitungan untuk syarat selisih suara maksimal 2% dalam Undang Undang Pilkada.
Selanjutnya pada 30 November 2015, peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015 diterbitkan sebagai aturan teknis dari Pasal 158 Undang Undang Pilkada yang sebelumnya belum sampai mengatur penghitungan selisih suara secara jelas.
Dalam Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada disebutkan, untuk syarat pengajuan (permohonan dibatalkannya hasil suara) jika ada selisih suara sebanyak maksimal 2% dari penetapan hasil penghitungan yang dilakukan KPU, untuk provinsi dengan jumlah penduduk maksimal 2 juta jiwa.
Sedangkan untuk penduduk yang memiliki jumlah lebih dari 2 hingga 6 juta jiwa, maka syarat pengajuan adalah apabila ada perbedaan selisih suara maksimal 1,5% dari hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU Provinsi.
- Peraturan MK tahun 2015
Sesuai Pasal 6 ayat (3) Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2015, disebutkan tentang persentase sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat (1) dan ayat (2) adalah dihitung dari jumlah suara terbanyak yang berdasarkan pada penetapan hasil penghitungan suara dari termohon (KPUD).
Dalam artian yang lebih sederhana, tentukan terlebih dahulu persentase selisih suaranya dengan besarannya 0,5% hingga 2%, tergantung dari jumlah penduduk dalam suatu provinsi, kabupaten atau kota. Selanjutnya, dikalikan dengan jumlah perolehan suara paling banyak dari pasangan calon yang sudah dinyatakan sebagai pemenang dalam pilkada sesuai keputusan rekapitulasi KPUD.
Cara Perhitungan Selisih Hitung Suara PILKADA
Untuk lebih memudahkan Anda dalam memahami cara selisih hitung suara Pilkada, maka bisa diamati penjelasan berikut. Contohnya, Pilkada di tingkat provinsi yang memiliki jumlah penduduk sekitar 2-6 juta jiwa, perolehan suara pasangan calon (paslon) nomor urut 1 memiliki total 2.000.000 suara. Sementara paslon nomor urut 2 mendapat perolehan suara sebanyak 10.000 suara.
Perbedaan perolehan yang didapatkan masing-masing calon ini adalah 10.000 suara. Jadi formula penghitungannya adalah 1,5% x 2.000.000 suara = 30.000 suara. Dengan demikian, paslon nomor urut 2 telah memenuhi syarat dan ketentuan untuk mengajukan perkara selisih hasil suara pemilihan kepada Mahkamah Konstitusi.
Prosedur Perhitungan Selisih Suara dalam PEMILU atau PILKADA
Perhitungan selisih hitung suara dalam Pilkada, juga dikenal sebagai pemilihan kepala daerah, adalah proses penting yang melibatkan berbagai tahapan untuk memastikan bahwa hasil pemilihan itu sah dan akurat. Berikut ini adalah prosedur yang harus diikuti untuk menghitung selisih suara dalam Pilkada.
1. Persiapan Data:
Tahap pertama dimulai dengan persiapan data, yang terdiri dari dua komponen utama:
- Daftar Pemilih Tetap (DPT): Menampilkan pemilih yang terdaftar dalam DPT, DPTb (pemilih luar negeri), dan DPK.
- Surat Suara: Ini mencakup semua surat suara yang diterima, termasuk surat suara yang rusak, tidak digunakan, atau cadangan.
2. Penjumlahan Surat Suara:
Pada tahap ini, jumlah surat suara yang terkait dengan pemilihan dihitung dan dicatat, yaitu:
- Jumlah Pemilih yang Hadir: Catat berapa banyak pemilih yang hadir dan memberikan suara.
- Jumlah Surat Suara Digunakan: Hitung berapa banyak surat suara yang benar-benar digunakan dalam pemilihan.
- Rusak, Tidak Digunakan, atau Salah Coblos Count: Catat surat suara yang rusak, tidak digunakan, atau salah dicoblos.
3. Verifikasi Jumlah Surat Suara:
Ini dilakukan setelah penjumlahan untuk memastikan bahwa jumlah surat suara yang diberikan sesuai dengan yang dikembalikan. Jika ada kesalahan, itu harus segera dicatat dan dilaporkan.
4. Penghitungan Suara Sah dan Tidak Sah:
Pada tahap ini, surat suara dihitung dan dibagi menjadi suara sah dan tidak sah:
- Surat Suara Tidak Sah adalah surat suara yang rusak, salah dicoblos, atau tidak memenuhi syarat, dan telah dihitung untuk setiap calon.
- Surat Suara Sah adalah surat suara yang memenuhi syarat, dicoblos dengan benar dan dihitung untuk setiap calon.
Proses ini termasuk:
- Proses membuka kotak suara dilakukan dihadapan pejabat dan saksi yang hadir.
- Melihat Isi Lembaran Suara: Surat suara diambil dari botol dan diletakkan di meja Ketua KPPS.
- Memeriksa Tanda Coblos: Surat suara diperiksa kembali
5. Rekapitulasi Hasil:
Hasil pemilihan kemudian direkap dan disimpan dalam dokumen resmi, seperti:
- Formulir MODEL C1 Plano berisi rekapitulasi total suara sah untuk partai politik dan calon.
- Lampiran Model C1 memuat detail penghitungan suara sah dan tidak sah untuk calon anggota DPRD dan DPD.
6. Verifikasi Akhir:
Tahap terakhir memastikan bahwa seluruh proses telah dilakukan secara transparan dan akurat. Ini penting untuk menjaga integritas dan kepercayaan terhadap hasil pemilihan.
Proses perhitungan selisih hitung suara dalam pemilihan kepala daerah dapat dilakukan dengan efektif dan efisien dengan mengikuti langkah-langkah ini. Selain itu, hasil pemilihan kepala daerah dapat dipastikan sah.
Peran MK dalam Menyelesaikan Perselisihan Suara Pilkada
Perlu diketahui sebelumnya, bahwa peran MK adalah menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan. Namun kemudian regulasinya berubah, dimana MK diberi kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah ini.
Aturan tersebut telah tertuang dalam Putusan No. 85/PUU-XX/2022. Dalam putusan tersebut disebutkan, bahwa MK bisa memutus perkara terkait sengketa hasil pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Sebelum putusan ini dibuat, pada tahun 2008-2010, hampir setiap hari MK menghadapi kasus permohonan terkait perselisihan hasil suara Pilkada. Setelah itu, muncul suara yang mengkritisi terkait menurunnya kualitas pengujian UU yang merupakan kewenangan fitrah MK, sehingga mengakibatkan berkurangnya bobot kualitas putusan yang dibuatnya.
Pada tahun 2013, MK di dalam putusan 97/PUU-XI/2013 mendeklarasikan tidak lagi memiliki kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pilkada, karena pilkada bukan termasuk dalam rezim pemilu. Namun dalam perjalanannya, regulasinya berubah dalam Putusan No. 85/PUU-XX/20222 yang menyebut, bahwa pilkada adalah bagian dari rezim pemilu dan jika terjadi sengketa sudah menjadi kewenangan MK sepenuhnya.
Pilkada Lawan Kotak Kosong
Untuk calon tunggal pada pilkada 2024 bisa dinyatakan menang jika mendapat suara lebih dari 50% ketika melawan kotak kosong. Namun jika perolehan suara tidak sampai 50%, maka hingga pilkada berikutnya, pemerintahan daerah tersebut bisa dipimpin oleh pejabat sementara.
Sebaliknya, jika perolehan suara paslon tersebut tidak sampai 50% dari suara sah, maka kotak kosong bisa dinyatakan menang. Namun jika mengikuti peraturan KPU No. 13 tahun 2018, maka pilkada harus diulang. Bagi paslon yang kalah, maka masih bisa mencalonkan diri di pilkada berikutnya.
Terkait kotak kosong, menurut Komisioner KPU, Idham Holik sebenarnya tidak ada di dalam Undang Undang Pilkada. Meskipun demikian, istilah ini masih sangat populer di kalangan masyarakat luas.
Perselisihan terkait perhitungan Pilkada memang sangat jarang diselesaikan dengan hanya cukup melakukan musyawarah. Maka dari itu peran advokat sebagai penegak hukum sangat tinggi dalam menyelesaikan sengketa pemilu. Jasa Burs Advocates adalah salah satu lembaga bantuan hukum yang juga telah berpengalaman dalam mengatasi sengketa pemilu. Selain itu, berbagai masalah hukum lainnya juga mampu diselesaikan dengan lebih baik dan terarah.
Butuh Butuh Jasa Sengketa PILKADA
Butuh Layanan dengan Tim Kami, Chat langsung!
Portofolio Kami
Share Yuk !
Seorang Lulusan Universitas Hukum di jakarta yang gemar akan menulis perkembangan hukum di Indonesia